kemaren tepatnya tanggal 5 Januari 2014, ane n temen2 ane nonton stand up comedy Indonesia roadshow 2014 yang dimana comic utamanya tuh sih Ernest Prakasa...
yasalaaaaammmm sumpah itu comic2 pada lucu2 amat yak... dulu waktu hamil mungkin emak2nya pada nyidam badut makan lollipop kali ye... sepanjang acara yang dimulai dari jm 7 sampe jam setengah 11 itu bener2 ga berasa... ketawaaaaaa mulu....
ini dia penampakan acaranya...
nah buat elu2 pada yang bilang ini mirip simbolnya dajjal, whatever lah ya... n yang bilang ini kayak simbolnya illuminati.. helllllooooow.. ini emang diplesetin dari sono... gak usah nyocot ato ntar gue ajak piknik lu*katanya ernest.. illucinati ini adalah roadshow ernest untuk promosi filmnya yaitu comic8 yang dilakukan di 17 kota di Indonesia.. yang aku tau karena sempet kesebut sama para comic kemaren adalah Aceh, Padang, Bali, Bandung, Malang, Surabaya, Medan, Denpasar, Makassar, Yogyakarta, kalimantan dll.. lumayan lah ya kesebut sebelas.. oiya ntr terakhir puncaknya di jakarta..
kenama judulnya illucinati.. well ini karena ernest itu cina nah jadi d pleset2in pokoknya kudu ada cina2nya lah.. hahahahaha.. kagak dijelasin juga sih detailnya kenapa jadi illucinati tapi kalo menurutku sih ya buat lucu2an aja.. secara utamanya kan verbal assasination..
comic yg tampil itu yudi, lian, arie kriting, n ernest tentunya..
Senin, 06 Januari 2014
Minggu, 15 Desember 2013
claustrolove
PEMIKIRANKU..
tempat di mana angan-angan dijahit menjadi kenyataan..
aku memang beraneka macam, karenanya aku tidak akan menjadi plagiat orang lain..
tidak ada kesamaan sikap, penuh beda pendapat, penuh intrik dan degenerasi aneka tindakan aneh..
Aku bukan makhluk penyendiri yang mengagumkan..
aku hidup di pojok dan melihat arah yang membingungkan dibutakan lantera orang lain..
aku buat lanteraku sendiri..
aku nyalakan untuk menuntun langkahku bersama-sama..
dalam lantera itu aku berkelakar, memaknai kecerobohanku dan mengagumi kepandaian orang..
aku berjalan di jalan yang ramai, di jalan tanpa penanda arah..
di jalan yang ditenunkan di lantainya sebuah kenyataan..
aku bernyanyi dengan memarahi api, menusuk palung sendiri, melenyapkan dendam, dan menaburi hatiku dengan puisi..
aku memasuki hutan sejarahku dan mengukir prasasti..
prasasti berisi cerita kepedulianku akan angan-anganku..
prasasti tentang ceritaku menaiki ombak dan berpelukan dengan air..
dibulatkan ke dalam tandanya sebuah tanda tangan yang mewakili aku dan janji untuk selalu ingat selamanya..
karena aku cintaku...
by : absurd and claustro me
tempat di mana angan-angan dijahit menjadi kenyataan..
aku memang beraneka macam, karenanya aku tidak akan menjadi plagiat orang lain..
tidak ada kesamaan sikap, penuh beda pendapat, penuh intrik dan degenerasi aneka tindakan aneh..
Aku bukan makhluk penyendiri yang mengagumkan..
aku hidup di pojok dan melihat arah yang membingungkan dibutakan lantera orang lain..
aku buat lanteraku sendiri..
aku nyalakan untuk menuntun langkahku bersama-sama..
dalam lantera itu aku berkelakar, memaknai kecerobohanku dan mengagumi kepandaian orang..
aku berjalan di jalan yang ramai, di jalan tanpa penanda arah..
di jalan yang ditenunkan di lantainya sebuah kenyataan..
aku bernyanyi dengan memarahi api, menusuk palung sendiri, melenyapkan dendam, dan menaburi hatiku dengan puisi..
aku memasuki hutan sejarahku dan mengukir prasasti..
prasasti berisi cerita kepedulianku akan angan-anganku..
prasasti tentang ceritaku menaiki ombak dan berpelukan dengan air..
dibulatkan ke dalam tandanya sebuah tanda tangan yang mewakili aku dan janji untuk selalu ingat selamanya..
karena aku cintaku...
by : absurd and claustro me
Senin, 11 November 2013
kebermaknaan diri
pernahkan kamu2 merasa tidak dianggap penting oleh orang lain? disepelekan? dianggap tidak berharga? dianggap tidak bisa apa2? dianggap bukan siapa2? dibodohi? dibanding2kan sama orang lain?
saya pernah.. sering malah.. rasanya? sakit hati tentunya.. merasa rendah diri dan merasa bahwa label tidak penting, tidak pandai, tidak lebih baik, lebih rendah dibanding orang lain dan sebagainya itu benar.. padahal? SALAH!!
tidak ada yang bisa merendahkan kita kecuali diri kita sendiri. -Eleanor Roosevelt-
bagaimana kalau sebaliknya? kita dianggap penting? dianggap mampu? dianggap bisa? pasti kita makin percaya diri.. makin yakin dengan diri kita.. makin menganggap diri kita berharga..
saya juga merasakannya.. lega sekali kalau ada yang menganggap diri kita berharga, or at least mampu menghargai kelebihan dan kekurangan yang kita miliki..
but asshole are everywhere..
andai semudah membalikkan telapak tangan untuk menampar bacot orang yang menganggap kita tidak bermakna itu ya.. tapi sayangnya enggak, untuk menerima setiap ucapan merendahkan, setiap perilaku yang meremehkan, setiap perbuatan yang tidakmanusiawi hatiawi ituuuuu sakiiiit bangeeeet dan untuk "menamparnya"pun butuh proses yg lebih panjang dan lebiiih sakit lagi... tapi pasti bisaaaaaa... horeeee....
hosh.. hosh...
damai di bumi damai di hati...
saya pernah.. sering malah.. rasanya? sakit hati tentunya.. merasa rendah diri dan merasa bahwa label tidak penting, tidak pandai, tidak lebih baik, lebih rendah dibanding orang lain dan sebagainya itu benar.. padahal? SALAH!!
tidak ada yang bisa merendahkan kita kecuali diri kita sendiri. -Eleanor Roosevelt-
bagaimana kalau sebaliknya? kita dianggap penting? dianggap mampu? dianggap bisa? pasti kita makin percaya diri.. makin yakin dengan diri kita.. makin menganggap diri kita berharga..
saya juga merasakannya.. lega sekali kalau ada yang menganggap diri kita berharga, or at least mampu menghargai kelebihan dan kekurangan yang kita miliki..
but asshole are everywhere..
andai semudah membalikkan telapak tangan untuk menampar bacot orang yang menganggap kita tidak bermakna itu ya.. tapi sayangnya enggak, untuk menerima setiap ucapan merendahkan, setiap perilaku yang meremehkan, setiap perbuatan yang tidak
hosh.. hosh...
damai di bumi damai di hati...
Selasa, 29 Oktober 2013
kahlil gibran
Anakmu bukanlah anakmu
“Anak adalah kehidupan, mereka sekedar lahir
melaluimu tetapi bukan berasal darimu.
Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu,
curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan pikiranmu
karena mereka dikaruniai pikirannya sendiri.
Berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak jiwanya, karena
jiwanya milik masa mendatang, yang tak bisa kau datangi
bahkan dalam mimpi sekalipun.
Bisa saja mereka mirip dirimu, tetapi jangan pernah
menuntut mereka jadi seperti sepertimu.
Sebab kehidupan itu menuju ke depan, dan
tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang melucur.
Sang Pemanah mahatahu sasaran bidikan keabadian.
Dia menentangmu dengan kekuasaanNya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap”.
[by Kahlil Gibran]
“Anak adalah kehidupan, mereka sekedar lahir
melaluimu tetapi bukan berasal darimu.
Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu,
curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan pikiranmu
karena mereka dikaruniai pikirannya sendiri.
Berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak jiwanya, karena
jiwanya milik masa mendatang, yang tak bisa kau datangi
bahkan dalam mimpi sekalipun.
Bisa saja mereka mirip dirimu, tetapi jangan pernah
menuntut mereka jadi seperti sepertimu.
Sebab kehidupan itu menuju ke depan, dan
tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang melucur.
Sang Pemanah mahatahu sasaran bidikan keabadian.
Dia menentangmu dengan kekuasaanNya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap”.
[by Kahlil Gibran]
Selasa, 22 Oktober 2013
sorry and regret...
Belakangan ini saya ngerasa (bukan ngerasa aja sih
tapi emang bener) udah ngecewain banyak orang.. entah kenapa belakangan ini
saya ngerasa susaaaah banget membagi pikiran, waktu, tenaga ato apalah itu.. rasanya capeeek, exhausted, tapi gak tau kenapa...
yang jelas saya sekarang ngerasa bersaaaalaaah banget sama beberapa orang yang
deket sama saya... gak pengen begitu saya ini,,, sueraaannn...
Duluuuuu sekali, saya
sering dan bangga kalo bisa membantu meringankan beban orang lewat kata2 saya,
bisa ngasih solusi, bisa memotivasi, bisa membantu orang menganalisis
masalahnya, mendebatkan sesuatu, mengungkapkan sudut pandang saya terhadap
sesuatu yang menurut orang-orang rada diluar mainstream (ini sumpeeeh narsis
banget yak) ibaratnya the power of words laaaah and in this case, my words..
tapiiii sekarang... boro2 meringankan beban orang, saya aja gak punya kata-kata bahkan terminologi untuk menjelaskan kondisi saya sendiri sekarang ini...
Frustasi (pake banget) karena saya di komplain
banyak pihak yang merasa saya berubah (saya sendiri pun merasa saya berubah dan mengkomplain diri sendiri), tidak seperti dulu lagi, makin cuek, tidak
punya waktu lagi bahkan cuma buat ngobrol-ngobrol remeh, susah di ajak kemana2, ngejawab seadanya.. well you know
i disappointed with myself too, saya kecewa beraaat.. it kill’s me to won’t be
able to do that… ibarat kata ya, saya ini olahragawati yang setiaaaaaap hari
lari bermil2 (baca:ngomong/ngomel/debat/curhat) trus tiba2 harus berhenti.. you
know what happen ketika olahragawati yang langsung tiba2 berhenti berolahraga
secara drastis? Cideraaaa… pegeeel (ati)…. Jadi gak sehat, penyakitan…. (ini perumpamaan terbaik yg bisa saya temukan, menyedihkan memang)
Sedih
cekaliiii, gak bisa konsen ngapa2in, kepikiraaaaannnn mulu… gimana? Gimana? Gimana? Gimana? Dan hasilnya nihil… no solution…
Marah.. marah banget kenapa bisa berada di
situasi seperti ini… pengen narik rambut rasanya.. kayak di tipi2 gitu yang
kalo orang udah putus asa banget... naaaah...
Bawaaannya pengen nangiiiiisss
mulu... tanpa alasan yang jelas dan konkrit...

WELL gak ada kata terlambat selama ada niat...
1. buat mami sama papi... maaf udah jadi anak bengal banget, ditelepon susah, di cariin susah, di sms gak bales... bukan bermaksud bikin mami sama papi cemas kok, semata cuma pengen minta waktu buat memperbaiki perspektif hidup dan gak mau bikin mami sama papi sakit hati kalo aku salah omong..(lebay)

3. T… maaf ya sebenernya alasan yg waktu itu tu bo’ong, gak
ada kayak begitu2an… gue cuma bener2 takut salah ngomong n nyakitin elu lg,
juga takut ngegangggu elu karna gue ngerecokin elu tiap hari n elu ngerasa
terbebani kudu nanggepin gue.. jd gue bukan jadi dingin, gue malah mau banget
deh tiap menit ngehubungin elu kalo elunya gak keberatan.. hehehe… ok… I really
do care for u…
damai di bumi damai di hati...
Kamis, 17 Oktober 2013
repost: debat dari mahasiswa yang gak banyak baca
belakangan banyak beredar versi debat tentang keberadaan Tuhan. di akhir debat ditulis bahwa mahasiswa tersebut adalah Albert Einstein. Nah ini juga versi debat yang dikembangkan untuk menanggapi debat tersebut, yang jauh lebih berisi tentunya bukan sekedar profesor yang gelagepan nanggepin pertanyaan mahasiswa.hehehehe... cekidot
ALKISAH, seorang profesor filsafat menantang mahasiswanya: “Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?”
Seorang mahasiswa menjawab, “Betul, Dia yang menciptakan semuanya”.
“Tuhan menciptakan semuanya?”, tanya professor sekali lagi.
“Ya, Pak, semuanya”, kata mahasiswa tersebut.
Profesor itu menjawab, Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan.”
Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab pernyataan professor tersebut.
Seorang mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, “Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?”
“Tentu saja,” jawab si professor, “itulah inti dari diskurus filsafat.”
Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, “Profesor, apakah dingin itu ada?”
“Tentu saja,” ungkap si professor. Raut muka si professor tidak berubah karena ia sudah mendengar argumen buruk seperti ini berulang kali.
Si murid menanggapi, “Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.”
Sang professor pun menjawab dengan tegas: “Kamu ingat bab mengenai kesesatan semantik dalam bukumu?”
Si murid tampak bingung.
“Biar saya ulangi secara singkat. “Panas” dan “dingin” adalah istilah subjektif. Menurut John Locke, keduanya merupakan contoh “kualitas sekunder”. Kualitas sekunder merujuk kepada bagaimana kita merasakan suatu fenomena yang memang ada, dan dalam kasus ini pergerakan partikel atomik. Istilah “dingin” dan “panas” merujuk kepada interaksi antara sistem saraf manusia dengan variasi kecepatan dalam partikel atomik di lingkungan. Jadi apa yang sesungguhnya ada adalah suhu… istilah “panas” dan “dingin” hanyalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk menjelaskan pengalaman kita mengenai suhu.”
“Maka argumen Anda salah. Anda tidak membuktikan bahwa “dingin” itu tidak ada, atau bahwa “dingin” ada tanpa status ontologis, apa yang Anda lakukan adalah menunjukkan bahwa “dingin” adalah istilah subjektif. Hapuskanlah konsep subjektif tersebut, dan suhu yang kita sebut “dingin” akan tetap ada. Menghapuskan istilah yang kita gunakan untuk merujuk kepada suatu fenomena tidak menghapuskan keberadaan fenomena tersebut.”
Murid: (agak shock) “Uh… oke… em, apakah gelap itu ada?”
Professor: “Anda masih mengulangi kesesatan logika yang sama, hanya kualitas sekundernya yang diganti.”
Murid: “Jadi menurut professor kegelapan itu ada?”
Professor: “Apa yang saya katakan adalah bahwa Anda mengulangi kesesatan yang sama. “Kegelapan” adalah kualitas sekunder.”
Murid: “Professor salah lagi. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. “Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya.”
Professor: “Gelap dan terang” adalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk mendeskripsikan bagaimana manusia mengukur foton atau partikel dasar cahaya secara visual. Foton itu memang ada, sementara “gelap” dan “terang” hanyalah penilaian subjektif kita… yang sekali lagi terkait dengan interaksi antara sistem saraf manusia dengan fenomena alam yang lain, yaitu foton. Jadi, sekali lagi, hapuskanlah istilah subjektif itu dan foton akan tetap ada. Jika manusia menyebut “foton sebanyak x” sebagai “gelap” sementara kucing menyebutnya “cukup terang untukku”, foton sebanyak x yang kita sebut sebagai “gelap” tetap ada, dan akan tetap akan ada walaupun kita tidak menyebutnya gelap. Sudah paham, atau masih kurang jelas?”
Sang murid tampak tercengang. Sang professor berkata, “Tampaknya Anda masih bingung dengan kesesatan dalam argumen Anda. Tapi silakan lanjutkan, mungkin Anda akan paham.”
Sang murid berkata, “Professor mengajar dengan dualitas. Professor berargumen tentang adanya kehidupan lalu mengajar tentang adanya kematian, adanya Tuhan yang baik dan Tuhan yang jahat. Professor memandang Tuhan sebagai sesuatu yang dapat kita ukur.”
Professor langsung memotong, “Berhati-hatilah. Jika Anda menempatkan Tuhan di luar jangkauan nalar, logika dan sains dan membuatnya “tak terukur”, maka yang tersisa hanyalah misteri yang Anda buat sendiri. Jadi jika Anda menggunakan dalih bahwa Tuhan ada di luar jangkauan untuk menyelesaikan masalah, Anda juga tak bisa mengatakan bahwa Tuhan Anda bermoral. Bahkan Anda tak bisa menyebutnya sebagai apapun kecuali tak terukur. Jadi solusi Anda tidak ada bedanya dengan membersihkan ketombe dengan memangkas rambut.”
Murid tersebut tercengang, namun tetap berusaha melanjutkan, “Professor, sains bahkan tidak dapat menjelaskan sebuah pemikiran. Ilmu ini memang menggunakan listrik dan magnet, tetapi tidak pernah seorangpun yang melihat atau benar-benar memahami salah satunya..”
Professor: “Anda mengatakan bahwa sains tak bisa menjelaskan pikiran. Saya sendiri kurang paham apa yang Anda maksud. Apakah Anda mencoba mengatakan bahwa masih banyak misteri dalam neurosains?”
Murid: “Begitulah.”
“Dan bahwa pikiran, listrik dan magnetisme itu kita anggap ada walaupun tak pernah kita lihat?”
“Benar!”
Sang professor tersenyum dan menjawab, “Bukalah kembali bukumu mengenai kesesatanfalse presumption. Perhatikan bab “kesalahan kategoris.” Kalau Anda pernah membacanya, Anda akan ingat bahwa kesalahan kategoris adalah saat Anda menggunakan tolak ukur yang salah untuk suatu entitas, misalnya menanyakan warna dari suara. Meminta seseorang melihat magnetisme secara langsung merupakan kesalahan kategoris.”
“Namun, masih ada kesalahan lain dalam argumen Anda. Anda berasumsi bahwa empirisisme atau bahkan sains hanya didasarkan kepada pengamatan langsung. Ini tidak tepat. Penglihatan bukanlah satu-satunya cara untuk memahami dunia, dan sains juga bukan ilmu yang mempelajari apa yang kita lihat. Kita dapat menggunakan indera lain untuk melacak suatu fenomena. Dan kita juga dapat mempelajari pengaruh fenomena tersebut terhadap dunia.”
“Lebih lagi, Anda kembali melakukan kesalahan dengan menyatakan bahwa karena sains itu belum lengkap berarti Tuhan itu ada. Mungkin Anda perlu mempelajari kembali kesesatan “argumentum ad ignoratiam” atau argumen dari ketidaktahuan.”
“Dan juga, seperti yang dikatakan oleh Neil deGrasse Tyson, gunakanlah contoh yang lebih baik karena sains sudah mampu menjelaskan bagaimana pikiran terbentuk dan bahkan Maxwell sudah lama menggabungkan elektrisme dan magnetisme menjadi elektromagnetisme. Contoh yang lebih baik itu misalnya materi gelap yang membuat perluasan alam semesta menjadi begitu cepat. Fisikawan tak bisa menjawab itu, dan mungkin Anda akan mengatakan jawabannya Tuhan. Namun dengan begitu, Anda justru sedang menyusutkan Tuhan. Anda melakukan kesesatan ad ignoratiam bahwa yang belum dijelaskan sains itu adalah keajaiban Tuhan, dan itu berarti Anda menempatkan Tuhan untuk mengisi gap dalam sains. Nah, dahulu manusia juga tak mampu menjawab mengapa hujan terbentuk atau mengapa gunung meletus, dan orang-orang dulu menyebutnya karena Tuhan. Kini kita sudah memahami hujan dan gunung meletus, begitu pula pikiran, listrik dan magnetisme, dan ke depannya materi gelap juga mungkin akan kita pahami. Dengan begitu Tuhan yang mengisi gap pun terus menciut.”
“Masih ada yang mau ditambahkan? Apakah penjelasan saya sudah cukup jelas?”
Sang murid tampak bingung dan mencoba melakukan ad nauseam, “Em… kembali ke diskusi awal kita. Untuk menilai kematian sebagai kondisi yang berlawanan dengan kehidupan sama saja dengan melupakan fakta bahwa kematian tidak bisa muncul sebagai suatu hal yang substantif. Kematian bukanlah kontradiksi dari hidup, hanya ketiadaan kehidupan saja.”
Professor pun berkata, “Apakah Anda jatuh cinta dengan kesesatan kualitas sekunder? Lagi-lagi Anda melakukan kesalahan yang sama.” “Kematian” dan “kehidupan” adalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk menjelaskan fenomena keadaan-keadaan biologis. Menghapuskan istilah subjektif kematian tidak menghapuskan keberadaan kematian.
Si murid pun mencoba mengalihkan pembicaraan, “Apakah imoralitas itu ada?”
Si professor menggelengkan kepalanya dan berkata, “Keledai pun tidak akan jatuh ke dalam lubang yang sama. Ada yang masih kurang jelas, atau perlu saya ulangi lagi?”
Sang murid yang terus berusaha menjustifikasi kepercayaannya berkata, “Begini.. imoralitas itu adalah ketiadaan moralitas. Apakah ketidakadilan itu ada? Tidak. Ketidakadilan adalah ketiadaan keadilan. Apakah kejahatan itu ada? Bukankah kejahatan itu ketiadaan kebaikan?”
Sang professor menanggapi, “Jadi, jika seseorang membunuh ibumu malam ini, tidak terjadi apa-apa? Hanya ada ketiadaan moralitas di rumah Anda? Tunggu… dia tidak mati… cuma ketiadaan hidup kan?”
Si murid berkata, “eh…”
“Sekarang sudah mengerti di mana salahnya?”, ujar sang professor, “Anda mencampur kualitas sekunder dengan fenomena. “Imoralitas” adalah istilah deskriptif untuk perilaku. Istilah tersebut bersifat sekunder, namun perilaku tetaplah ada. Jadi jika Anda menghapuskan kualitas sekunder itu, Anda tidak menghapuskan perilaku yang sesungguhnya terjadi. Dengan mengatakan imoralitas sebagai ketiadaan moralitas, Anda tidak menghapuskan keinginan atau perilaku imoral, tetapi hanya istilah subjektifnya. Begitu lho.”
Si murid masih kukuh, “Apakah professor pernah mengamati evolusi itu dengan mata professor sendiri?”
Sang professor sudah bosan mendengar argumen “pernah lihat angin tidak”.
“Evolusi itu bisa diamati karena hingga sekarang masih
berlangsung. Misalnya, pada tahun 1971, beberapa kadal dari pulau Pod
Kopiste di Kroasia dipindah ke pulau pod Mrcaru. Pulau Pod Kopiste tidak
banyak tumbuhan sehingga memakan serangga, sementara di pulau Pod
Mrcaru ada banyak tumbuhan. Setelah ditinggal selama beberapa dekade,
ketika ditemukan kembali, kadal di pulau Pod Mrcaru mengalami proses
evolusi. Kadal tersebut mengembangkan caecal valve, yaitu organ yang
penting untuk mengolah selulosa dalam tumbuhan, yang sebelumnya tidak
ada. Atau, jika Anda pergi ke laboratorium Richard Lenski di Amerika
Serikat, Anda bisa saksikan sendiri bagaimana bakteri e coli yang
sebelumnya tak bisa mengolah asam sitrat, karena evolusi dengan seleksi
alam muncul e coli yang bisa mengolah asam sitrat.”
“Lagipula, Anda lagi-lagi terjeblos dalam kesesatan ad ignoratiam. Jika ingin konsisten dengan logika Anda, Anda akan mengatakan bahwa pohon tidak pernah tumbuh karena Anda tak pernah melihat langsung bagaimana pohon tumbuh. Lebih lagi, Anda kembali melakukan kesalahan dengan mengasumsikan bahwa sains itu hanya terdiri dari pengamatan langsung…. “
Si murid memotong, “Apakah ada dari kelas ini yang pernah melihat otak Profesor? Apakah ada orang yang pernah mendengar otak Profesor, merasakannya, menyentuhnya atau menciumnya? Tampaknya tak seorang pun pernah melakukannya. Jadi, menurut prosedur pengamatan, pengujian dan pembuktian yang disahkan, ilmu pengetahuan mengatakan bahwa professor tidak memiliki otak. Dengan segala hormat, bagaimana kami dapat mempercayai pengajaran professor?”
Si professor tertawa dan menjawab, “Terima kasih sudah hadir di kelas ini sehingga saya bisa membenarkan kesalahan Anda walaupun Anda terus menerus mengulanginya. Sekali lagi, sains itu tidak terbatas kepada “melihat” sesuatu. Sains itu juga rasional. Kita dapat menyimpulkan berdasarkan bukti yang ada. Dan salah satu simpulan yang dapat saya tarik dengan mengamati perilaku Anda hari ini adalah bahwa Anda telah membuang-buang uang karena tidak membaca buku logika yang sudah Anda beli. Jadi saya sarankan bacalah buku itu kembali dari halaman satu agar tidak terus menerus mengulangi kesalahan yang sama.”
- Dan murid itu adalah orang yang tidak banyak membaca.
ALKISAH, seorang profesor filsafat menantang mahasiswanya: “Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?”
Seorang mahasiswa menjawab, “Betul, Dia yang menciptakan semuanya”.
“Tuhan menciptakan semuanya?”, tanya professor sekali lagi.
“Ya, Pak, semuanya”, kata mahasiswa tersebut.
Profesor itu menjawab, Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan.”
Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab pernyataan professor tersebut.
Seorang mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, “Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?”
“Tentu saja,” jawab si professor, “itulah inti dari diskurus filsafat.”
Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, “Profesor, apakah dingin itu ada?”
“Tentu saja,” ungkap si professor. Raut muka si professor tidak berubah karena ia sudah mendengar argumen buruk seperti ini berulang kali.
Si murid menanggapi, “Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.”
Sang professor pun menjawab dengan tegas: “Kamu ingat bab mengenai kesesatan semantik dalam bukumu?”
Si murid tampak bingung.
“Biar saya ulangi secara singkat. “Panas” dan “dingin” adalah istilah subjektif. Menurut John Locke, keduanya merupakan contoh “kualitas sekunder”. Kualitas sekunder merujuk kepada bagaimana kita merasakan suatu fenomena yang memang ada, dan dalam kasus ini pergerakan partikel atomik. Istilah “dingin” dan “panas” merujuk kepada interaksi antara sistem saraf manusia dengan variasi kecepatan dalam partikel atomik di lingkungan. Jadi apa yang sesungguhnya ada adalah suhu… istilah “panas” dan “dingin” hanyalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk menjelaskan pengalaman kita mengenai suhu.”
“Maka argumen Anda salah. Anda tidak membuktikan bahwa “dingin” itu tidak ada, atau bahwa “dingin” ada tanpa status ontologis, apa yang Anda lakukan adalah menunjukkan bahwa “dingin” adalah istilah subjektif. Hapuskanlah konsep subjektif tersebut, dan suhu yang kita sebut “dingin” akan tetap ada. Menghapuskan istilah yang kita gunakan untuk merujuk kepada suatu fenomena tidak menghapuskan keberadaan fenomena tersebut.”
Murid: (agak shock) “Uh… oke… em, apakah gelap itu ada?”
Professor: “Anda masih mengulangi kesesatan logika yang sama, hanya kualitas sekundernya yang diganti.”
Murid: “Jadi menurut professor kegelapan itu ada?”
Professor: “Apa yang saya katakan adalah bahwa Anda mengulangi kesesatan yang sama. “Kegelapan” adalah kualitas sekunder.”
Murid: “Professor salah lagi. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. “Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya.”
Professor: “Gelap dan terang” adalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk mendeskripsikan bagaimana manusia mengukur foton atau partikel dasar cahaya secara visual. Foton itu memang ada, sementara “gelap” dan “terang” hanyalah penilaian subjektif kita… yang sekali lagi terkait dengan interaksi antara sistem saraf manusia dengan fenomena alam yang lain, yaitu foton. Jadi, sekali lagi, hapuskanlah istilah subjektif itu dan foton akan tetap ada. Jika manusia menyebut “foton sebanyak x” sebagai “gelap” sementara kucing menyebutnya “cukup terang untukku”, foton sebanyak x yang kita sebut sebagai “gelap” tetap ada, dan akan tetap akan ada walaupun kita tidak menyebutnya gelap. Sudah paham, atau masih kurang jelas?”
Sang murid tampak tercengang. Sang professor berkata, “Tampaknya Anda masih bingung dengan kesesatan dalam argumen Anda. Tapi silakan lanjutkan, mungkin Anda akan paham.”
Sang murid berkata, “Professor mengajar dengan dualitas. Professor berargumen tentang adanya kehidupan lalu mengajar tentang adanya kematian, adanya Tuhan yang baik dan Tuhan yang jahat. Professor memandang Tuhan sebagai sesuatu yang dapat kita ukur.”
Professor langsung memotong, “Berhati-hatilah. Jika Anda menempatkan Tuhan di luar jangkauan nalar, logika dan sains dan membuatnya “tak terukur”, maka yang tersisa hanyalah misteri yang Anda buat sendiri. Jadi jika Anda menggunakan dalih bahwa Tuhan ada di luar jangkauan untuk menyelesaikan masalah, Anda juga tak bisa mengatakan bahwa Tuhan Anda bermoral. Bahkan Anda tak bisa menyebutnya sebagai apapun kecuali tak terukur. Jadi solusi Anda tidak ada bedanya dengan membersihkan ketombe dengan memangkas rambut.”
Murid tersebut tercengang, namun tetap berusaha melanjutkan, “Professor, sains bahkan tidak dapat menjelaskan sebuah pemikiran. Ilmu ini memang menggunakan listrik dan magnet, tetapi tidak pernah seorangpun yang melihat atau benar-benar memahami salah satunya..”
Professor: “Anda mengatakan bahwa sains tak bisa menjelaskan pikiran. Saya sendiri kurang paham apa yang Anda maksud. Apakah Anda mencoba mengatakan bahwa masih banyak misteri dalam neurosains?”
Murid: “Begitulah.”
“Dan bahwa pikiran, listrik dan magnetisme itu kita anggap ada walaupun tak pernah kita lihat?”
“Benar!”
Sang professor tersenyum dan menjawab, “Bukalah kembali bukumu mengenai kesesatanfalse presumption. Perhatikan bab “kesalahan kategoris.” Kalau Anda pernah membacanya, Anda akan ingat bahwa kesalahan kategoris adalah saat Anda menggunakan tolak ukur yang salah untuk suatu entitas, misalnya menanyakan warna dari suara. Meminta seseorang melihat magnetisme secara langsung merupakan kesalahan kategoris.”
“Namun, masih ada kesalahan lain dalam argumen Anda. Anda berasumsi bahwa empirisisme atau bahkan sains hanya didasarkan kepada pengamatan langsung. Ini tidak tepat. Penglihatan bukanlah satu-satunya cara untuk memahami dunia, dan sains juga bukan ilmu yang mempelajari apa yang kita lihat. Kita dapat menggunakan indera lain untuk melacak suatu fenomena. Dan kita juga dapat mempelajari pengaruh fenomena tersebut terhadap dunia.”
“Lebih lagi, Anda kembali melakukan kesalahan dengan menyatakan bahwa karena sains itu belum lengkap berarti Tuhan itu ada. Mungkin Anda perlu mempelajari kembali kesesatan “argumentum ad ignoratiam” atau argumen dari ketidaktahuan.”
“Dan juga, seperti yang dikatakan oleh Neil deGrasse Tyson, gunakanlah contoh yang lebih baik karena sains sudah mampu menjelaskan bagaimana pikiran terbentuk dan bahkan Maxwell sudah lama menggabungkan elektrisme dan magnetisme menjadi elektromagnetisme. Contoh yang lebih baik itu misalnya materi gelap yang membuat perluasan alam semesta menjadi begitu cepat. Fisikawan tak bisa menjawab itu, dan mungkin Anda akan mengatakan jawabannya Tuhan. Namun dengan begitu, Anda justru sedang menyusutkan Tuhan. Anda melakukan kesesatan ad ignoratiam bahwa yang belum dijelaskan sains itu adalah keajaiban Tuhan, dan itu berarti Anda menempatkan Tuhan untuk mengisi gap dalam sains. Nah, dahulu manusia juga tak mampu menjawab mengapa hujan terbentuk atau mengapa gunung meletus, dan orang-orang dulu menyebutnya karena Tuhan. Kini kita sudah memahami hujan dan gunung meletus, begitu pula pikiran, listrik dan magnetisme, dan ke depannya materi gelap juga mungkin akan kita pahami. Dengan begitu Tuhan yang mengisi gap pun terus menciut.”
“Masih ada yang mau ditambahkan? Apakah penjelasan saya sudah cukup jelas?”
Sang murid tampak bingung dan mencoba melakukan ad nauseam, “Em… kembali ke diskusi awal kita. Untuk menilai kematian sebagai kondisi yang berlawanan dengan kehidupan sama saja dengan melupakan fakta bahwa kematian tidak bisa muncul sebagai suatu hal yang substantif. Kematian bukanlah kontradiksi dari hidup, hanya ketiadaan kehidupan saja.”
Professor pun berkata, “Apakah Anda jatuh cinta dengan kesesatan kualitas sekunder? Lagi-lagi Anda melakukan kesalahan yang sama.” “Kematian” dan “kehidupan” adalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk menjelaskan fenomena keadaan-keadaan biologis. Menghapuskan istilah subjektif kematian tidak menghapuskan keberadaan kematian.
Si murid pun mencoba mengalihkan pembicaraan, “Apakah imoralitas itu ada?”
Si professor menggelengkan kepalanya dan berkata, “Keledai pun tidak akan jatuh ke dalam lubang yang sama. Ada yang masih kurang jelas, atau perlu saya ulangi lagi?”
Sang murid yang terus berusaha menjustifikasi kepercayaannya berkata, “Begini.. imoralitas itu adalah ketiadaan moralitas. Apakah ketidakadilan itu ada? Tidak. Ketidakadilan adalah ketiadaan keadilan. Apakah kejahatan itu ada? Bukankah kejahatan itu ketiadaan kebaikan?”
Sang professor menanggapi, “Jadi, jika seseorang membunuh ibumu malam ini, tidak terjadi apa-apa? Hanya ada ketiadaan moralitas di rumah Anda? Tunggu… dia tidak mati… cuma ketiadaan hidup kan?”
Si murid berkata, “eh…”
“Sekarang sudah mengerti di mana salahnya?”, ujar sang professor, “Anda mencampur kualitas sekunder dengan fenomena. “Imoralitas” adalah istilah deskriptif untuk perilaku. Istilah tersebut bersifat sekunder, namun perilaku tetaplah ada. Jadi jika Anda menghapuskan kualitas sekunder itu, Anda tidak menghapuskan perilaku yang sesungguhnya terjadi. Dengan mengatakan imoralitas sebagai ketiadaan moralitas, Anda tidak menghapuskan keinginan atau perilaku imoral, tetapi hanya istilah subjektifnya. Begitu lho.”
Si murid masih kukuh, “Apakah professor pernah mengamati evolusi itu dengan mata professor sendiri?”
Sang professor sudah bosan mendengar argumen “pernah lihat angin tidak”.
“Lagipula, Anda lagi-lagi terjeblos dalam kesesatan ad ignoratiam. Jika ingin konsisten dengan logika Anda, Anda akan mengatakan bahwa pohon tidak pernah tumbuh karena Anda tak pernah melihat langsung bagaimana pohon tumbuh. Lebih lagi, Anda kembali melakukan kesalahan dengan mengasumsikan bahwa sains itu hanya terdiri dari pengamatan langsung…. “
Si murid memotong, “Apakah ada dari kelas ini yang pernah melihat otak Profesor? Apakah ada orang yang pernah mendengar otak Profesor, merasakannya, menyentuhnya atau menciumnya? Tampaknya tak seorang pun pernah melakukannya. Jadi, menurut prosedur pengamatan, pengujian dan pembuktian yang disahkan, ilmu pengetahuan mengatakan bahwa professor tidak memiliki otak. Dengan segala hormat, bagaimana kami dapat mempercayai pengajaran professor?”
Si professor tertawa dan menjawab, “Terima kasih sudah hadir di kelas ini sehingga saya bisa membenarkan kesalahan Anda walaupun Anda terus menerus mengulanginya. Sekali lagi, sains itu tidak terbatas kepada “melihat” sesuatu. Sains itu juga rasional. Kita dapat menyimpulkan berdasarkan bukti yang ada. Dan salah satu simpulan yang dapat saya tarik dengan mengamati perilaku Anda hari ini adalah bahwa Anda telah membuang-buang uang karena tidak membaca buku logika yang sudah Anda beli. Jadi saya sarankan bacalah buku itu kembali dari halaman satu agar tidak terus menerus mengulangi kesalahan yang sama.”
- Dan murid itu adalah orang yang tidak banyak membaca.
Minggu, 06 Oktober 2013
self evaluating :menunggu
makanan sehat itu banyak gak enaknya.. (menurut gue)
gue gak suka sayur, belum lagi makanan hambar yang gak di kasih garam terlalu banyak, gula juga tidak terlalu banyak, sebaiknya dikukus bukan di goreng atau di bakar dan sebagainya.. gak suka deh.. menurut gue the more strong the taste the better.. hahahahaha... mati awet muda aja moga2...dan sepertinya buanyak juga yang mikir sama kayak gue...
makanya kebanyakan orang (menurut pengamatan gue) gak suka begitu dan memilih mengambil resiko makan makanan yang gak sehat tapi enaaaaaaakkk... sama kayak gue.. hahahahaha
lantas ini ape hubungannya sama menunggu???
well, lagi2 masih menurut gue, menunggu itu juga makanan tidak enak tapi sehat bagi jiwa.. banyak orang disekitar gue yang gue kenal, bener-bener bermasalah sama yang namanya menunggu.. gue juga sih kadang-kadang, tapi terus berusaha untuk gak begitu.. memang benar waktu adalah hal yang berharga yang gak akan bisa diambil kembali dan banyak urusan yang jadi terbengkalai gara2 harus menunggu hal lain. tapi gak buat gue (well tergantung kondisinya sih kalo urgent banget ya sebel juga). mungkin buat banyak orang menunggu itu sia2 tapi seperti prinsip idup yang gue pegang adalah gak ada hal yang sia-sia di dunia ini.. buat yang udah pernah nonton karate kid, di sana mister han bilang kalo wanita yang lagi kungfu itu "stand still" sehingga bisa mengontrol ular buat ngikutin yang dia mau.. and si bocah tanya, "she control it by doing nothing?" dan mister han bilang "doing nothing" dan "stand still" adalah hal yang berbeda.. well itu juga menurut gue...
apa mungkin karena gua adalah orang yang kuliah di psikologi sehingga udah biasa banget ngamati orang. menurut gue kehidupan sehari-hari manusia itu menarik (BANGET) jadi selalu ada pelajaran baru, hal baru yang gua liat, hal mengejutkan, seru, unik, yang bisa gue dapet kalo gue menunggu.. gak worthed? itu menurut elo, tapi seperti yang gue bilang di dunia ini gak ada yang sia2, dan menurut gue itu worthed banget.. hahahahaha
gue suka ngamatin orang, melihat tingkah polah orang sekitar, menerka2 apa yang lagi dipikirin orang yang ini, yang itu pokoknya menarik lah... dan menurut gue banyak banget kesempatan yang bisa kita raih kalo aja kita bisa lebih sabar nunggu.
bahkan setelah lama menunggu ternyata gak dapet apa yang gue tunggu?
well yeesss!! menurut gue itu tetep gak sia2.. setidaknya hikmah yang gue dapet adalah bahwa orang/benda yang gua tunggu ternyata tidak layak, sehingga gue belajar bahwa di kemudian hari jika berhubungan dengan hal yang sama tidak perlu repot2 menghabiskan waktu atau paling gak gue tau karakter seseorang yang tidak bisa menghargai orang lain yang sudah menghabiskan waktunya untuk menunggu dia.. simple kan?karena pada dasarnya kalau kita menunggu posibilitas tetap 50:50 dan buat saya itu cukup..50% of something better than 100% of nothing..
learn to wait and you'll learn balance, respect, patient and you learn the world...

damai di bumi damai di hati..^,^
gue gak suka sayur, belum lagi makanan hambar yang gak di kasih garam terlalu banyak, gula juga tidak terlalu banyak, sebaiknya dikukus bukan di goreng atau di bakar dan sebagainya.. gak suka deh.. menurut gue the more strong the taste the better.. hahahahaha...
makanya kebanyakan orang (menurut pengamatan gue) gak suka begitu dan memilih mengambil resiko makan makanan yang gak sehat tapi enaaaaaaakkk... sama kayak gue.. hahahahaha
lantas ini ape hubungannya sama menunggu???
well, lagi2 masih menurut gue, menunggu itu juga makanan tidak enak tapi sehat bagi jiwa.. banyak orang disekitar gue yang gue kenal, bener-bener bermasalah sama yang namanya menunggu.. gue juga sih kadang-kadang, tapi terus berusaha untuk gak begitu.. memang benar waktu adalah hal yang berharga yang gak akan bisa diambil kembali dan banyak urusan yang jadi terbengkalai gara2 harus menunggu hal lain. tapi gak buat gue (well tergantung kondisinya sih kalo urgent banget ya sebel juga). mungkin buat banyak orang menunggu itu sia2 tapi seperti prinsip idup yang gue pegang adalah gak ada hal yang sia-sia di dunia ini.. buat yang udah pernah nonton karate kid, di sana mister han bilang kalo wanita yang lagi kungfu itu "stand still" sehingga bisa mengontrol ular buat ngikutin yang dia mau.. and si bocah tanya, "she control it by doing nothing?" dan mister han bilang "doing nothing" dan "stand still" adalah hal yang berbeda.. well itu juga menurut gue...
apa mungkin karena gua adalah orang yang kuliah di psikologi sehingga udah biasa banget ngamati orang. menurut gue kehidupan sehari-hari manusia itu menarik (BANGET) jadi selalu ada pelajaran baru, hal baru yang gua liat, hal mengejutkan, seru, unik, yang bisa gue dapet kalo gue menunggu.. gak worthed? itu menurut elo, tapi seperti yang gue bilang di dunia ini gak ada yang sia2, dan menurut gue itu worthed banget.. hahahahaha
gue suka ngamatin orang, melihat tingkah polah orang sekitar, menerka2 apa yang lagi dipikirin orang yang ini, yang itu pokoknya menarik lah... dan menurut gue banyak banget kesempatan yang bisa kita raih kalo aja kita bisa lebih sabar nunggu.
bahkan setelah lama menunggu ternyata gak dapet apa yang gue tunggu?
well yeesss!! menurut gue itu tetep gak sia2.. setidaknya hikmah yang gue dapet adalah bahwa orang/benda yang gua tunggu ternyata tidak layak, sehingga gue belajar bahwa di kemudian hari jika berhubungan dengan hal yang sama tidak perlu repot2 menghabiskan waktu atau paling gak gue tau karakter seseorang yang tidak bisa menghargai orang lain yang sudah menghabiskan waktunya untuk menunggu dia.. simple kan?karena pada dasarnya kalau kita menunggu posibilitas tetap 50:50 dan buat saya itu cukup..50% of something better than 100% of nothing..
learn to wait and you'll learn balance, respect, patient and you learn the world...

damai di bumi damai di hati..^,^
Langganan:
Postingan (Atom)